Menyambut
berlakunya UU Desa, persiapan apa yang bisa dilakukan PNPM Perkotaan, yang
sebagian wilayahnya adalah perdesaan? Hasil pendataan dari seluruh Koordinator
Kota (Koorkot) menyebutkan bahwa dampingan PNPM Mandiri Perkotaan tahun 2014
berada di 11.073 lokasi, yang terdiri atas 5.284 desa dan 5.824 kelurahan.
Artinya, hampir separuh lokasi PNPM Mandiri Perkotaan akan dipengaruhi
berlakunya UU Desa. BKM-BKM di 5.284 desa akan diuji ketangguhannya dalam
merespon ketentuan UU Desa, terutama pada aspek kelembagaan dan perencanaan.
UU Desa yang
disahkan pada tanggal 18 Desember 2013 lalu sesungguhnya dibuat setelah
menyerap pemikiran dan pengalaman bermacam proses pemberdayaan. Sejumlah workshop
diadakan untuk kepentingan itu, termasuk workshop Progress Update Agenda
Kerja Prioritas Kelompok Kerja Kebijakan Program Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
yang diselenggarakan oleh POKJA Pengendali TNP2K.
Subjek
Pembangunan
Demi
menjadikan desa sebagai subjek pembangunan, maka beberapa klausul kunci
mengenai kelembagaan, good governance, demokratisasi pengambilan
keputusan dan perencanaan diatur cukup lugas dalam UU ini. Jadi, UU Desa ini
sebenarnya bukan melulu mengatur pemindahan pengelolaan APBN ke kas desa
sebagaimana yang diributkan banyak kalangan.
Alokasi dana
menjadi salah satu instrumen penting untuk mewujudkan desa yang berdaulat, dan
menerapkan mekanisme pembangunan yang mengandalkan jaringan kerja (networking)
dengan banyak pihak, partisipatif, dan tidak hierarchies (top-down). BKM
sebagai Civil Society Organization (CSO) adalah salah satu mitra kerja
strategis pemerintah desa, agar desa terhindar dari stigma objek pembangunan.
Pasal 72 UU
Desa memang menyebutkan bahwa Dana Alokasi Desa berasal 10% dana transfer
daerah (APBN) dan bakal dibagi ke 72.000 desa. So, tiap desa akan
menerima Rp0,7 - 1,4 miliar, tergantung jumlah penduduk, angka kemiskinan dan
luasnya wilayah. Menurut Khudori (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia/AEPI; Media
Indonesia Januari 2013), alokasi sebesar itu diharapkan mengembalikan kekuatan
sektor pertanian dan membalik arah pembangunan dari sektor non-tradable
(jasa, keuangan, perdagangan, transportasi, komunikasi, hotel, restoran dan
pariwisata) ke sektor tradable (pertanian, pertambangan dan manufaktur)
yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.
Desa
benar-benar akan dijadikan ujung tombak pembangunan, berbekal APBN yang dulunya
masih dianggap mimpi di siang bolong bisa masuk desa. Konon langkah ini akan
efektif menghambat laju urbanisasi dan “tren pengiriman TKI” ke negeri seberang.
Lihat saja
urbanisasi di ibukota meningkat pesat akibat pembangunan yang meninggalkan
desa. Terbukti, DKI Jakarta dihuni 12,7 juta penduduk di siang hari dan 9,7
juta di malam hari (Koran Sindo, 27 Agustus 2013). Padahal tahun 2010 lalu
hanya 8,5 juta penduduk yang bermukim di DKI (jakartabps.go.id). Fakta ini
melengkapi data tingkat urbanisasi di semua kawasan perkotaan nusantara yang
mencapai 48.3 % (Susenas, 2010).
Artinya,
desa yang identik dengan pertanian itu selama ini telah ditelantarkan. Kini
telah muncul kesadaran untuk back to rural agar pembangunan tetap
berlangsung disana menggunakan kekayaan lokal yang dipunya. Kalau perlu
memanggil pulang para ahli pembangunan yang terlanjur berdomisili di kota untuk
membangun desa kelahirannya.
Menajamkan
Kesiapan BKM
Kembali ke
pokok persoalan, seberapa siapkah BKM mampu turut membawa desa keluar dari
berbelitnya persoalan? Fakta menunjukkan bahwa sejauh ini BKM telah mampu
memengaruhi pengambilan keputusan di sejumlah desa. Tentu saja ruang yang makin
diperluas oleh UU Desa merupakan tantangan tersendiri bagi BKM untuk mendorong
PJM Pronangkis berkualitas makin mewarnai pembangunan desa. Oleh sebab itu,
berikut adalah isu-isu strategis kelembagaan dan perencanaan partisipatif BKM
yang harus dipersiapkan untuk dipertajam:
Pertama, BKM mesti proaktif dalam
Musyawarah Desa. Sebagai Civil Society Organization (CSO), BKM yang
sejak awal bergerak fleksible sebagai co - management pembangunan, akan
makin memiliki ruang formal untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan dalam
Musyawarah Desa. Pada tahap perencanaan, BKM sebagai unsur masyarakat
berkesempatan untuk mengintegrasikan PJM Pronangkis, Rencana Penataan
Lingkungan Permukiman (RPLP) atau Rencana Tindak Penataan Lingkungan Permukiman
(RTPLP) ke dalam perencanaan desa, kerja sama antardesa, rencana investasi yang
akan masuk ke desa, pembentukan Badan Usaha Milik Desa atau penambahan dan
pelepasan aset desa. Musyawarah Desa ini menurut Pasal 54 ayat 1 dan 2 diikuti
oleh BPD, Kepala Desa dan unsur masyarakat (baca: BKM salah satunya).
Kedua, BKM mesti mengintegrasikan PJM
Pronangkis dengan Perencanaan Pembangunan Desa agar pro poor, berdampak
langsung pada kesejahteraan (sebagaimana amanah Pasal 78), dan mengacu pada
perencanaan pembangunan kabupaten/kota (Pasal 79). Perencanaan Pembangunan Desa
tersebut disusun secara berjangka terdiri dari: (a) Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJMDes) untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan (b). Rencana
Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP
Desa), sebagai penjabaran dari RPJMDes.
Merespon
ketentuan ini, maka PJM Pronangkis dapat saja dibuat berdurasi 6 tahun, jika
hendak menyesuaikan usia perencanaannya. Atau mengambil mid-term evaluation
planning-nya RPJM Desa jika ingin tetap mempertahankan jangka waktu 3
tahun.
Ketiga, BKM konsisten pada posisinya
sebagai CSO yang menghubungkan Pasar – Negara - masyarakat (Tocqueville,
dalam Wordring ; 1998), meskipun faktanya masih ada yang berstatus CBO
atau Community-Based Organization (Marta Chechetto-Salles and Yvette Geyer ;
2006). CBO adalah pra CSO, yang dalam terminologi PNPM Mandiri Perkotaan
disebut dengan BKM Berdaya yang belum Mandiri; masih di lingkup kerja terbatas,
berkutat membangun organisasi, sektoral dan menjalankan kegiatan by-request
BLM.
Di level
manapun BKM, Pasal 67 UU Desa 2014 menentukan bahwa desa berhak untuk mengelola
kelembagaan desa dan berkewajiban untuk meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakatnya, mengembangkan kehidupan demokrasi; mengembangkan pemberdayaan
masyarakat; serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sebuah frasa khas
pemberdayaan masyarakat (community organization) yang bermaksud menjaga
konsistensi BKM sebagai CSO.
Keempat, BKM semakin mengasah PJM
Pronangkisnya agar tetap fleksibel merespon dinamika zaman. Dibutuhkan
prakarsa-prakarsa inovatif untuk merawat PJM Pronangkis agar visioner
dalam menjawab berbagai tantangan globalisasi. Isu-isu strategis yang
diprediksikan datang dalam trend 5-10 tahun ke depan dihadirkan, sehingga PJM
Pronangkis tetap “bergigi” dan tak lekang ditelan masa. Sebab varian alternatif
untuk menjawabnya telah tersedia di dalamnya.
Isu-isu
seperti penanggulangan kemiskinan berorientasi kawasan (tidak sektoral dan
parsial), responsif gender, mengedepankan mitigasi bencana dan bahaya (hazard),
serta menjaga keberlanjutan penghidupan (sustainable livelihood)
berbasis mata pencaharian harus mempertajam arah PJM. Tajamnya PJM Pronangkis
ini niscaya akan mengoptimalkan kualitas RPJM Desa dan menghindarkannya dari
bentuk perencanaan yang melulu daftar kegiatan (shopping list), reaktif
dan tidak menggambarkan visi desa.
Jika tahun
2015 kelak PNPM Mandiri Perkotaan benar-benar pergi meninggalkan desa
dampingan, niscaya BKM dan PJM Pronangkis menjadi aset berharga sebagai jejak
pendampingan. Boleh saja Pasal 76 UU Desa menyebutkan bahwa aset desa dapat
berbentuk tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan
perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan desa,
mata air desa, pemandian umum, dan beragam aset tangible lainnya.
Namun, BKM
dan PJM Pronangkis adalah aset intangible yang jauh lebih berharga karena mampu
melembagakan system pengambilan keputusan demokratis, baik dalam pemilihan
pemimpin maupun dalam perumusan perencanaannya.
Apalagi UU
Desa saat ini mengedepankan dua azas utama, yaitu azas rekognisi dan
subsidiaritas (Sudjatmiko; 2014), ketimbang azas desentralisasi. Azas rekognisi
dikenali sebagai pengakuan terhadap keragaman budaya, kearifan lokal (local
wisdom), hak asal-usul, prakarsa, produk hukum dan kelembagaan desa.
Sedangkan azas subsidiaritas adalah azas yang memelihara kewenangan lokal untuk
mandiri dalam menjalankan segala urusan lokal. Kedua azas tersebut memungkinkan
BKM yang telah melembaga untuk diakui eksistensinya dalam membangun
kemandirian.
Agenda
Mendesak
Dengan
berlaku efektifnya UU Desa berikut penganggarannya tahun 2015 nanti, maka Pasal
200 hingga Pasal 216, yang berkaitan dengan desa dalam UU no.32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah benar-benar dicabut (Pasal 121 UU Desa). Untuk
sementara ini kekuatan hukum UU Pemda diambil sebagian karena tidak kunjung
menjawab kebutuhan rakyat desa, meskipun PP no 72 Tahun 2005 tetap berlaku
untuk mengisi kekosongan, asalkan tidak bertentangan dengan UU Desa.
Namun, yang
lebih penting dari semua itu adalah bagaimana mempersiapkan Peraturan
Pemerintah (PP) agar UU Desa segera beroperasi. Tercatat ada 3-4 PP yang harus
dibuat, yaitu PP Tata Cara Pemilihan Kepala Desa serentak, PP tentang Perangkat
Desa, PP Musyawarah desa, PP Keuangan Desa, dan PP Pengelolaan kekayaan desa.
PP yang
paling penting dan memerlukan sumbangsih pemikiran dari para aktivis
pemberdayaan (termasuk para pegiat PNPM Mandiri Perkotaan) adalah PP tentang
Musyawarah Desa (Pasal 47) dan PP Pengelolaan kekayaan desa (Aset Desa – Pasal
77). Kedua PP tersebut akan amat menentukan keberlanjutan pemberdayaan
masyarakat desa berlangsung secara partisipatif, demokratis, dan transparan.
Bahkan jika konsisten, PP-PP tersebut dapat menghancurkan feodalisme
kepemimpinan desa (Sudjatmiko;2014). Oleh sebab itu, pola-pola pemberdayaan
masyarakat yang telah diterapkan oleh PNPM Perkotaan yang kaya akan lesson
learned sebaiknya turut mewarnai kedua PP tersebut.
Tabel 1
Peran-peran BKM yang Dapat Dioptimalkan Mengisi Amanah UU Desa
Peran-peran BKM yang Dapat Dioptimalkan Mengisi Amanah UU Desa
Klausul
|
Tema
|
Substansi
|
Peran
|
Tujuan
|
Pasal 54
ayat (1) dan (2)
serta
Pasal 79 ayat (1) dan (2)
|
Forum
Musyawarah Desa
|
|
|
|
Pasal 78
|
Penanggulangan
Kemiskinan
|
Pembangunan
Desa wajib berorientasi pada kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan
|
|
Untuk
optimalisasi:
|
Pasal 67
|
Menguatkan
BKM sebagai Civil Society Organization
|
Posisi BKM
dalam pola hubungan kelembagaan Desa (setara dengan Pranata Adat)
|
BKM
membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat melalui kekuatan jaringan kerjanya (networking)
|
|
Pasal 83
|
Penataan
Permukiman dan lingkungan berbasis kawasan
|
Mendorong
Pembangunan dan penanggulangan kemiskinan berorientasi spatial, menata
kawasan antar desa (perpaduan antardesa)
|
Mempertajam
PJM Pronangkis lebih berorientasi Penataan kawasan berbentuk Rencana Tindak
Penataan Lingkungan Permukiman (RTPLP) di lokasi-lokasi PLPBK
|
|
Pasal 92
|
Kerjasama
Antardesa
|
Membangun
jaringan komunikasi antar desa sebagai wadah pembelajaran
|
Memperluas
jaringan kerjasama penanggulangan kemiskinan agar mempengaruhi Perencanaan
daerah sejak dari level kecamatan menggunakan kekuatan Forum BKM atau BKAD
(Badan Kerjasama Antar Desa yang telah dimanfaatkan oleh PNPM Pedesaan
|
Mempercepat
Pembangunan Desa untuk:
|