SELAMAT DATANG DI BLOG BKM SEJAHTERA DESA MEDALEM KEC.TULANGAN KAB.SIDOARJO

29 January 2014

BKM / LKM Harus Siap Jalankan UU Desa

Menyambut berlakunya UU Desa, persiapan apa yang bisa dilakukan PNPM Perkotaan, yang sebagian wilayahnya adalah perdesaan? Hasil pendataan dari seluruh Koordinator Kota (Koorkot) menyebutkan bahwa dampingan PNPM Mandiri Perkotaan tahun 2014 berada di 11.073 lokasi, yang terdiri atas 5.284 desa dan 5.824 kelurahan. Artinya, hampir separuh lokasi PNPM Mandiri Perkotaan akan dipengaruhi berlakunya UU Desa. BKM-BKM di 5.284 desa akan diuji ketangguhannya dalam merespon ketentuan UU Desa, terutama pada aspek kelembagaan dan perencanaan.
UU Desa yang disahkan pada tanggal 18 Desember 2013 lalu sesungguhnya dibuat setelah menyerap pemikiran dan pengalaman bermacam proses pemberdayaan. Sejumlah workshop diadakan untuk kepentingan itu, termasuk workshop Progress Update Agenda Kerja Prioritas Kelompok Kerja Kebijakan Program Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang diselenggarakan oleh POKJA Pengendali TNP2K.
Subjek Pembangunan
Demi menjadikan desa sebagai subjek pembangunan, maka beberapa klausul kunci mengenai kelembagaan, good governance, demokratisasi pengambilan keputusan dan perencanaan diatur cukup lugas dalam UU ini. Jadi, UU Desa ini sebenarnya bukan melulu mengatur pemindahan pengelolaan APBN ke kas desa sebagaimana yang diributkan banyak kalangan.
Alokasi dana menjadi salah satu instrumen penting untuk mewujudkan desa yang berdaulat, dan menerapkan mekanisme pembangunan yang mengandalkan jaringan kerja (networking) dengan banyak pihak, partisipatif, dan tidak hierarchies (top-down). BKM sebagai Civil Society Organization (CSO) adalah salah satu mitra kerja strategis pemerintah desa, agar desa terhindar dari stigma objek pembangunan.
Pasal 72 UU Desa memang menyebutkan bahwa Dana Alokasi Desa berasal 10% dana transfer daerah (APBN) dan bakal dibagi ke 72.000 desa. So, tiap desa akan menerima Rp0,7 - 1,4 miliar, tergantung jumlah penduduk, angka kemiskinan dan luasnya wilayah. Menurut Khudori (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia/AEPI; Media Indonesia Januari 2013), alokasi sebesar itu diharapkan mengembalikan kekuatan sektor pertanian dan membalik arah pembangunan dari sektor non-tradable (jasa, keuangan, perdagangan, transportasi, komunikasi, hotel, restoran dan pariwisata) ke sektor tradable (pertanian, pertambangan dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.
Desa benar-benar akan dijadikan ujung tombak pembangunan, berbekal APBN yang dulunya masih dianggap mimpi di siang bolong bisa masuk desa. Konon langkah ini akan efektif menghambat laju urbanisasi dan “tren pengiriman TKI” ke negeri seberang.
Lihat saja urbanisasi di ibukota meningkat pesat akibat pembangunan yang meninggalkan desa. Terbukti, DKI Jakarta dihuni 12,7 juta penduduk di siang hari dan 9,7 juta di malam hari (Koran Sindo, 27 Agustus 2013). Padahal tahun 2010 lalu hanya 8,5 juta penduduk yang bermukim di DKI (jakartabps.go.id). Fakta ini melengkapi data tingkat urbanisasi di semua kawasan perkotaan nusantara yang mencapai 48.3 % (Susenas, 2010).
Artinya, desa yang identik dengan pertanian itu selama ini telah ditelantarkan. Kini telah muncul kesadaran untuk back to rural agar pembangunan tetap berlangsung disana menggunakan kekayaan lokal yang dipunya. Kalau perlu memanggil pulang para ahli pembangunan yang terlanjur berdomisili di kota untuk membangun desa kelahirannya.
Menajamkan Kesiapan BKM
Kembali ke pokok persoalan, seberapa siapkah BKM mampu turut membawa desa keluar dari berbelitnya persoalan? Fakta menunjukkan bahwa sejauh ini BKM telah mampu memengaruhi pengambilan keputusan di sejumlah desa. Tentu saja ruang yang makin diperluas oleh UU Desa merupakan tantangan tersendiri bagi BKM untuk mendorong PJM Pronangkis berkualitas makin mewarnai pembangunan desa. Oleh sebab itu, berikut adalah isu-isu strategis kelembagaan dan perencanaan partisipatif BKM yang harus dipersiapkan untuk dipertajam:
Pertama, BKM mesti proaktif dalam Musyawarah Desa. Sebagai Civil Society Organization (CSO), BKM yang sejak awal bergerak fleksible sebagai co - management pembangunan, akan makin memiliki ruang formal untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan dalam Musyawarah Desa. Pada tahap perencanaan, BKM sebagai unsur masyarakat berkesempatan untuk mengintegrasikan PJM Pronangkis, Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP) atau Rencana Tindak Penataan Lingkungan Permukiman (RTPLP) ke dalam perencanaan desa, kerja sama antardesa, rencana investasi yang akan masuk ke desa, pembentukan Badan Usaha Milik Desa atau penambahan dan pelepasan aset desa. Musyawarah Desa ini menurut Pasal 54 ayat 1 dan 2 diikuti oleh BPD, Kepala Desa dan unsur masyarakat (baca: BKM salah satunya).
Kedua, BKM mesti mengintegrasikan PJM Pronangkis dengan Perencanaan Pembangunan Desa agar pro poor, berdampak langsung pada kesejahteraan (sebagaimana amanah Pasal 78), dan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota (Pasal 79). Perencanaan Pembangunan Desa tersebut disusun secara berjangka terdiri dari: (a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan (b). Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa), sebagai penjabaran dari RPJMDes.
Merespon ketentuan ini, maka PJM Pronangkis dapat saja dibuat berdurasi 6 tahun, jika hendak menyesuaikan usia perencanaannya. Atau mengambil mid-term evaluation planning-nya RPJM Desa jika ingin tetap mempertahankan jangka waktu 3 tahun.
Ketiga, BKM konsisten pada posisinya sebagai CSO yang menghubungkan Pasar – Negara - masyarakat (Tocqueville, dalam Wordring ; 1998), meskipun faktanya masih ada yang berstatus CBO atau Community-Based Organization (Marta Chechetto-Salles and Yvette Geyer ; 2006). CBO adalah pra CSO, yang dalam terminologi PNPM Mandiri Perkotaan disebut dengan BKM Berdaya yang belum Mandiri; masih di lingkup kerja terbatas, berkutat membangun organisasi, sektoral dan menjalankan kegiatan by-request BLM.
Di level manapun BKM, Pasal 67 UU Desa 2014 menentukan bahwa desa berhak untuk mengelola kelembagaan desa dan berkewajiban untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya, mengembangkan kehidupan demokrasi; mengembangkan pemberdayaan masyarakat; serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sebuah frasa khas pemberdayaan masyarakat (community organization) yang bermaksud menjaga konsistensi BKM sebagai CSO.
Keempat, BKM semakin mengasah PJM Pronangkisnya agar tetap fleksibel merespon dinamika zaman. Dibutuhkan prakarsa-prakarsa inovatif untuk merawat PJM Pronangkis agar visioner dalam menjawab berbagai tantangan globalisasi. Isu-isu strategis yang diprediksikan datang dalam trend 5-10 tahun ke depan dihadirkan, sehingga PJM Pronangkis tetap “bergigi” dan tak lekang ditelan masa. Sebab varian alternatif untuk menjawabnya telah tersedia di dalamnya.
Isu-isu seperti penanggulangan kemiskinan berorientasi kawasan (tidak sektoral dan parsial), responsif gender, mengedepankan mitigasi bencana dan bahaya (hazard), serta menjaga keberlanjutan penghidupan (sustainable livelihood) berbasis mata pencaharian harus mempertajam arah PJM. Tajamnya PJM Pronangkis ini niscaya akan mengoptimalkan kualitas RPJM Desa dan menghindarkannya dari bentuk perencanaan yang melulu daftar kegiatan (shopping list), reaktif dan tidak menggambarkan visi desa.
Jika tahun 2015 kelak PNPM Mandiri Perkotaan benar-benar pergi meninggalkan desa dampingan, niscaya BKM dan PJM Pronangkis menjadi aset berharga sebagai jejak pendampingan. Boleh saja Pasal 76 UU Desa menyebutkan bahwa aset desa dapat berbentuk tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan desa, mata air desa, pemandian umum, dan beragam aset tangible lainnya.
Namun, BKM dan PJM Pronangkis adalah aset intangible yang jauh lebih berharga karena mampu melembagakan system pengambilan keputusan demokratis, baik dalam pemilihan pemimpin maupun dalam perumusan perencanaannya.
Apalagi UU Desa saat ini mengedepankan dua azas utama, yaitu azas rekognisi dan subsidiaritas (Sudjatmiko; 2014), ketimbang azas desentralisasi. Azas rekognisi dikenali sebagai pengakuan terhadap keragaman budaya, kearifan lokal (local wisdom), hak asal-usul, prakarsa, produk hukum dan kelembagaan desa. Sedangkan azas subsidiaritas adalah azas yang memelihara kewenangan lokal untuk mandiri dalam menjalankan segala urusan lokal. Kedua azas tersebut memungkinkan BKM yang telah melembaga untuk diakui eksistensinya dalam membangun kemandirian.
Agenda Mendesak
Dengan berlaku efektifnya UU Desa berikut penganggarannya tahun 2015 nanti, maka Pasal 200 hingga Pasal 216, yang berkaitan dengan desa dalam UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah benar-benar dicabut (Pasal 121 UU Desa). Untuk sementara ini kekuatan hukum UU Pemda diambil sebagian karena tidak kunjung menjawab kebutuhan rakyat desa, meskipun PP no 72 Tahun 2005 tetap berlaku untuk mengisi kekosongan, asalkan tidak bertentangan dengan UU Desa.
Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah bagaimana mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP) agar UU Desa segera beroperasi. Tercatat ada 3-4 PP yang harus dibuat, yaitu PP Tata Cara Pemilihan Kepala Desa serentak, PP tentang Perangkat Desa, PP Musyawarah desa, PP Keuangan Desa, dan PP Pengelolaan kekayaan desa.
PP yang paling penting dan memerlukan sumbangsih pemikiran dari para aktivis pemberdayaan (termasuk para pegiat PNPM Mandiri Perkotaan) adalah PP tentang Musyawarah Desa (Pasal 47) dan PP Pengelolaan kekayaan desa (Aset Desa – Pasal 77). Kedua PP tersebut akan amat menentukan keberlanjutan pemberdayaan masyarakat desa berlangsung secara partisipatif, demokratis, dan transparan. Bahkan jika konsisten, PP-PP tersebut dapat menghancurkan feodalisme kepemimpinan desa (Sudjatmiko;2014). Oleh sebab itu, pola-pola pemberdayaan masyarakat yang telah diterapkan oleh PNPM Perkotaan yang kaya akan lesson learned sebaiknya turut mewarnai kedua PP tersebut.
Tabel 1
Peran-peran BKM yang Dapat Dioptimalkan Mengisi Amanah UU Desa
Klausul
Tema
Substansi
Peran
Tujuan
Pasal 54 ayat (1) dan (2)
serta Pasal 79 ayat (1) dan (2)
Forum Musyawarah Desa
  1. Perencanaan Desa
  2. Rencana Investasi yang akan dimasukkan ke desa
  3. Kerja sama antardesa
  1. Mengintegrasikan dokumen PJM berkualitas dengan draft RPJM Desa
  2. Menyesuaikan periode PJM Pronangkis dengan jangka waktu RPJM Desa 6 Tahun dengan masa evaluasi tahunan
  1. Mempertajam RPJM Desa agar lebih visioner (sesuai dengan visi) dan mampu menjawab tantangan trend 5-10 tahun ke depan
  2. Mempertajam RPJM Desa lebih pro poor, memajukan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood), responsive gender, antisipatif bencana dan berorientasi kawasan (diwarnai PJM Pronangkis yang ideal)
  3. RPJM Desa terhindar dari jebakan shopping list.
Pasal 78
Penanggulangan Kemiskinan
Pembangunan Desa wajib berorientasi pada kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan
  1. Mempertajam RPJM Desa lebih pro poor, memajukan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood), responsive gender, antisipatif bencana dan berorientasi kawasan (diwarnai PJM Pronangkis yang ideal)
  2. Mengawal dan memonitor pelaksanaan RPJM Desa tersebut tepat sasaran dan memuaskan
Untuk optimalisasi:
  1. Penyediaan kebutuhan dasar,
  2. Pelayanan dasar
  3. Pengembangan ekonomi lokal
  4. Pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan
Pasal 67
Menguatkan BKM sebagai Civil Society Organization
Posisi BKM dalam pola hubungan kelembagaan Desa (setara dengan Pranata Adat)
BKM membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat melalui kekuatan jaringan kerjanya (networking)
  1. Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKM; baca BKM) menjadi wadah partisipasi masyarakat dan mitra Pemdes.
  2. LKM terlibat aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan peningkatan pelayanan masyarakat
  3. Pemprov dan Pemkab/Kota wajib mendayagunakan LKM di setiap program
Pasal 83
Penataan Permukiman dan lingkungan berbasis kawasan
Mendorong Pembangunan dan penanggulangan kemiskinan berorientasi spatial, menata kawasan antar desa (perpaduan antardesa)
Mempertajam PJM Pronangkis lebih berorientasi Penataan kawasan berbentuk Rencana Tindak Penataan Lingkungan Permukiman (RTPLP) di lokasi-lokasi PLPBK
  1. Mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat berbasis kawasan secara partisipatif.
  2. Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi:
    a) pemanfaatan desa
    b) dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan RTRW Kota
    pelayanan lebih meningkatkan kesejahteraan pengembangan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan
    c) pelayanan lebih meningkatkan kesejahteraan pengembangan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan,
    d) dan teknologi tepat guna
Pasal 92
Kerjasama Antardesa
Membangun jaringan komunikasi antar desa sebagai wadah pembelajaran
Memperluas jaringan kerjasama penanggulangan kemiskinan agar mempengaruhi Perencanaan daerah sejak dari level kecamatan menggunakan kekuatan Forum BKM atau BKAD (Badan Kerjasama Antar Desa yang telah dimanfaatkan oleh PNPM Pedesaan
Mempercepat Pembangunan Desa untuk:
  1. pengembangan usaha bersama antar Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing;
  2. kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan
  3. pemberdayaan masyarakat antar desa