SELAMAT DATANG DI BLOG BKM SEJAHTERA DESA MEDALEM KEC.TULANGAN KAB.SIDOARJO

18 July 2010

Jadikan 2010 Tahun Pemberantasan Kemiskinan

Negara-negara kaya-raya yang tergabung dalam Uni Eropa mendeklarasikan 2010 sebagai Tahun Pemberantasan Kemiskinan dan Keterpinggiran Sosial di kawasan mereka.

Beberapa lembaga donor Eropa bahkan menggunakan slogan “Zero Poverty/Nol Kemiskinan” sebagai targetnya. Selain Uni Eropa, beberapa negara industri baru seperti China dan India mematok angka penurunan kemiskinan ambisius demi pengurangan kemiskinan menjadi separuh sesuai target Millennium Development Goals (MDGs) pada 2015. Bagaimana dengan kita? Peta ke depan menunjukkan jalan terjal yang tak mudah dilalui. Betapa tidak? Tahun 2010 adalah dimulainya Perjanjian Perdagangan Bebas (ASEAN-China Free Trade Agreement/ACFTA).

Meski pemerintah mengimbau pengusaha tidak usah khawatir, oleh banyak pihak ACFTA disinyalir bisa memukul industri padat karya, industri berteknologi sedang, dan industri skala kecil karena kalah bersaing, terutama dengan China. Bila kita tidak melakukan mitigasi risiko atas implementasi ACFTA, tahun 2010 ini diramal bakal menjadi tahun melonjaknya pengangguran. Pada gilirannya, hal itu dipastikan bakal menaikkan jumlah orang miskin.Data terbaru BPS (Maret 2009) mencatat 14,15% atau sekitar 32,5 juta jiwa penduduk negeri ini tergolong miskin.

Masih jauh dari target MDGs menurunkan kemiskinan menjadi sekitar 7,5% pada 2015. Beberapa program pemberantasan kemiskinan memang telah digulirkan pemerintah. Lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pemerintah misalnya mengalokasikan Rp50- an triliun dana di mana setiap kecamatan mendapat jatah dana Rp1,7 miliar untuk kegiatan pembangunan yang mampu menyerap tenaga kerja.

*** Namun, apa pun program, hal itu mempersyaratkan dimotori oleh pemimpin yang menjadi teladan, bersih, memiliki sense of crisis, dan menunjukkan keprihatinan serta solidaritas dalam perilaku atas berbagai beban yang sedang dan bakal dipikul rakyat. Sayangnya, kasus-kasus terbaru seperti Centurygate, jatah mobil mewah bagi para menteri dan pejabat negara, serta gaya hidup para elite membuat banyak yang pesimistis. Saya teringat buku Jean Ziegler Les Nouveaux Maitres du Monde (2002).Dalam bab tentang korupsi, Ziegler bercerita tentang Swedia, Finlandia,Norwegia,dan Denmark di mana para pejabat tingginya berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor.

Seorang menteri atau presiden yang berangkat kerja dengan mobil dikawal motor polisi bersirene meraung-raung diyakini sulit terpilih kembali.Apalagi jika harus menutup jalan-jalan vital karena alasan pribadi seperti sedang mantu atau mengunjungi istri muda. Rumah para pemimpin terkenal Eropa seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria) pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh terakhir hidup mereka. Jelas, jauh berbeda dengan “istana” kebanyakan pemimpin negara berkembang, termasuk Indonesia. Ziegler menarik kesimpulan, makin miskin sebuah bangsa,sering kali semakin mewah kehidupan dan “aneh” perilaku segelintir elite penguasanya.

Tampaknya,dari tiga slogan revolusi Prancis yang mewarnai sistem demokrasi, terjadi kecenderungan berikut.Ketika “kebebasan” politik merebak, padanannya adalah “kesetaraan” dan “persaudaraan” nyaris terlupakan.Welfare state yang mewajibkan negara memberi perlindungan bagi warganya dalam kemiskinan dan kesehatan tak jarang dianggap “jalan sesat” demokrasi sosialisme. Dalam paradigma neoliberal yang mendominasi praktik ekonomi global, pemerataan pendapatan dan kesempatan diyakini bukan alat ampuh melawan kemiskinan.

Semua itu dilandasi argumentasi yang sekilas terkesan plausible. Pertama, pemerataan akan mengurangi kuota investasi. Setiap rupiah yang konon diinvestasikan kaum kaya secara produktif sebaliknya hanya akan “dikonsumsi” kaum papa. Kedua,sebagian besar bantuan tidak akan sampai sasaran karena dikorup birokrasi. Ketiga, yang menjadi asumsi Bank Dunia,pemerataan akan membahayakan stabilitas politik dan bisa bermuara pada konflik kekerasan karena membuat marah “elite” (World Bank Report,Attacking Poverty,2000). Namun, bagi Erhard Berner (Hilfe-lose Illusionen, 2005), semua itu secara teoretis rapuh, secara empirik salah, dan bila dipraktikkan menjadi sesuatu yang sinis.

Karena,apa salahnya orang miskin menggunakan dana bantuan untuk membeli makan, membayar uang sekolah, dan menebus obat? Asumsi kelompok elite akan marah dan mendestabilisasi pemerintahan di negara berkembang yang menjalankan strategi pembangunan pro-poormungkin realistis. Namun, apakah layak untuk ikut membatasi kebijakan itu?

Sementara itu, asumsi orang miskin sama sekali tidak berinvestasi adalah sebuah ignorancy.Para pekerja kaki lima (PKL),yang ratarata miskin, di kebanyakan negara berkembang adalah “pahlawan” yang menyediakan lapangan kerja terbesar. Juga tanpa kampungkampung seperti di Jakarta, kota besar tidak akan mampu menyediakan kebutuhan papan warganya. Kontribusi fantastis sektor informal bagi perkembangan ekonomi, umumnya, luput dari statistik resmi, sementara mereka digusurgusur para birokrat korup.

*** Bagi pembangunan, yang lebih penting daripada “investasi produktif” adalah investasi bagi human capital masyarakat miskin, terutama kesehatan dan pendidikan anak-anak. Dulu, banyak negara melakukan itu dan kini menuai hasil, misalnya Malaysia dan Korea Selatan.Tanpa itu, berlaku “lingkaran setan”.Peningkatan tenaga kerja murah akan menurunkan pendapatan yang tidak memungkinkan mereka untuk sehat dan pintar. Dengan pertumbuhan ekonomi (termasuk pro-poor growth), kondisi ini tidak bisa diatasi. Bagi peneliti kemiskinan Michael Lipton, “Kesenjangan ekstrem adalah penyebab utama terganjalnya pertumbuhan.

” Kemiskinan massal, menurutnya, bukan hanya akibat stagnasi ekonomi,tetapi penyebab terpenting stagnasi ekonomi itu sendiri (Pro-poor Growth and Progrowth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications, 2000). Bersama Eastwood, Lipton menganjurkan strategi cerdas Pro- Growth Poverty Reduction. Dalam kerangka ini, pengeluaran sosial untuk pendidikan dan kesehatan bukan biaya sia-sia,tetapi investasi produktif dan pilar kebijakan ekonomi. Cerita sukses di Brasil,Vietnam, dan beberapa negara industri baru membenarkan analisis Lipton.

Pada tataran makroekonomi, Howard White (National and International Redistribution as Tools for Poverty Reduction, 2001) secara empiris menunjukkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lewat pemerataan. Mari jadikan 2010 sebagai tahun pemberantasan kemiskinan.
 
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com

No comments:

Post a Comment